Tampilkan postingan dengan label Media Pembelajaran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media Pembelajaran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 September 2023

P. 3 Mengenal Takhrij Al-Hadis. | Ilmu Hadis XII Agama Sem. 1

  

BAB II

MENGENAL TAKHRIJ AL-HADIS


A.    Pengertian Takhrij al-Hadis

Kata takhrij berasal dari kata kharrajaخَرَّجَ  , yukharrijuيُخَرِّجُ  yang secara etimologi mempunyai arti berhimpun dua hal yang saling bertentangan dalam satu persoalan. Para ahli hadis memaknai takhrij dengan:

1.      Sinonim kata ikhraj  إِخْرَاجُ , yakni mengemukakan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni orang-orang yang menjadi mata rantai hadis tersebut. Sebagai contoh: “َّيِاض َذُ الب ُهَحَطْدَؤ”, artinya: al-Bukhari meriwayatkan hadis itu dengan menyebutkan sumbernya.

2.      Takhr j terkadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadis dan meriwayatkannya dari beberapa kitab.

3.      Takhrij terkadang juga disebut al-dalalah, yaitu menunjukkan dan menisbatkan hadis ke dalam (kitab) sumber-sumber hadis, dengan menyebutkan nama penulisnya. Sedangkan secara terminologi, takhr j berarti :

‘Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekadar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.’

Mahmud al-Tahhan memaknai takhrij  dengan: “Menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber pokok yang dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya bila diperlukan.”

Syuhudi Ismail mendefinisikan dengan “Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.”

Bila merujuk pada pemaknaan yang disampaikan oleh para ahli hadis, bolehlah didefinisikan secara sederhana bahwa takhr j adalah kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadis dengan sanadnya. Adapun terkait dengan penjelasan kualifikasi hadis bukanlah tugas pokok kerja takhr j.

B.     Tujuan dan Manfaat TakhrIj al-Hadis

Pengetahuan tentang ilmu takhr j merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya membicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad suatu hadis. Penguasaan tentang ilmu takhr j merupakan suatu keharusan bagi setiap ilmuwan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kasyariahan, khususnya yang menekuni bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij , seseorang akan dapat mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya yang asli yang pertama kali disusun oleh para ulama pengkodifikasi hadis.

Dengan mengetahui hadis dari sumber aslinya, maka akan dapat diketahui sanadsanadnya. Dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Dalam kegiatan penelitian hadis, takhrij  merupakan kegiatan penting yang tidak dapat diabaikan. Tanpa melakukan kegiatan takhrij , seorang peneliti hadis akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadis dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan oleh seorang peneliti hadis dalam hubungannya dengan takhrij ini meliputi kajian asal-usul riwayat suatu hadis, berbagai riwayat yang meriwayatkan hadis tersebut, ada atau tidaknya syahid dan muttabi‟ dalam sanad hadis yang diteliti. 

Dengan demikian takhrIj al- ad   bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang ditakhr j. Tujuan lainnya adalah mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memperhatikan kaidah-kaidah ‟ulūm al- ad   yang berlaku. Sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Sedangkan manfaat takhrij  hadis antara lain sebagai berikut:

1.      Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang menjadi topik kajian.

2.      Dapat diketahui status hadis shahih li żatihi atau shahih li gairihi, hasan li żātihi, atau  asan l  gairihi. Demikian pula akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhūr, a   , dan ghar b-nya.

3.      Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha`if melalui satu riwayat. Maka dengan takhr j kemungkinan akan didapati riwayat lain yang dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi

4.      Memperjelas perawi yang samar, karena dengan adanya takhr j, dapat diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.

5.      Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat.

6.      Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di antara sanad-sanad-nya.

7.      Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka nama perawi itu akan menjadi jelas.

8.      Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadis melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.

9.      Dapat mengungkap kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui perbandinganperbandingan sanad yang ada.

10.  Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah maqbūl (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadis tersebut mardūd (ditolak).

11.  Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah Saw yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.

C.    Sejarah Takhrij al-Hadis

Dalam kegiatan men-takhr j hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama mutaakhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama mutaqaddimin menurut al-Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.

Penguasaan para ulama terdahulu (mutaqaddimin) terhadap sumber-sumber asSunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadis untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab al-Sunnah. Ketika semangat belajar mereka melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadis yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syara‟. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla‟if. Kemudian muncullah apa yang disebut dengan ”Kutub al-Takhr j” (kitab-kitab takhrij ) yang masyhur di antaranya:

1.      Takhr j Ahād   al-Muhażżab, karya Muhammad bin Musa al-Hazimi asy-Syafi‟i (w. 548 H). Dan kitab al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fikih madzhab al-Syafi‟i karya Abu Ishaq asy- Syairazi. Ahmad Abdul Hadi al-Maqdisi (w. 744 H).

2.      Nasb al-Rayah l  Ahād   al-Hidayah l  Al-Marginani, karya Abdullah bin Yusuf az aila‟i (w. 762 H).

3.      Takhr j Ahād   al-Kasyāf l  a -Zamakhsyari, karya al-Hafidz az- aila‟i juga. (Ibnu Hajar juga menulis takhrij  untuk kitab ini dengan judul Al-Kafi Asy-Syāfi f  Takhr j Ahād   Asy-Syāfi).

4.      Al-Badr al -Mun r fii Takhr j al-Ahād   wa al- ar al-Waqi‟ah f  asy-Syarhil-Kabir l  ar-Rafi‟i, karya Umar bin Ali bin Mulaqqin (w. 804 H).

5.      Al-Mugni ‟an Ham li al-Asfār fil-Asfaar f  Takhr j mā f - Ihyā‟ min al-Akhbar, karya Abdurrahman bin al-Husain al-Iraqi (w. 806 H).

6.      Takhr j al-Ahād   allati Yusy ru ilaihat-Tirmid i f  Kulli Bāb, karya al-Hafidz al-Iraqi juga.

7.      At-Talkh   al-Hab r f  Takhr j Ahād   Syarh al-Wajiz al-Kab r li ar-Rafi‟i, karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).

8.      Ad-Dirāyah f  Takhr j Ahād   al-Hidāyah, karya al-Hafidz Ibnu Hajar juga.

9.      Tuhfat ar-Rāwi f  Takhr j Ahād   al-Ba lawi, karya Abdurrauf Ali al-Manawi (w. 1031 H.)

P. 2 Keadilan Sahabat dan Tabi'in. | Ilmu Hadis XII Agama Sem. 1

  

BAB I

KEADILAN SAHABAT DAN TABI’IN

PETA KONSEP

 B.  Keadilan Sahabat Nabi dan Tabi’in

Keadilan atau dalam istilah ilmu hadis disebut dengan  العدالة (al-„adālah) merupakan salah satu syarat diterimanya sebuah periwayatan hadis. Keadilan di sini adalah sifat yang mendorong seseorang untuk selalu menjaga takwa dan murū‟ah (perwira). Dengan takwa ini maka golongan kafir tidak masuk ke dalamnya. Maka salah satu periwayatan hadis masuk kedalamnya Islam. Sedangkan murū‟ah selalu menjaga diri dari maksiat, jika seorang perawi bermaksiat maka kualitas keadilannya berkurang, bila ini terjadi maka derajat kesahihan hadis juga berkurang. Bagaimana dengan sahabat Nabi saw dan tabi‟in?

Mayoritas ulama mengatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Hal ini merupakan konsekuensi seorang sahabat yang selalu senantiasa menegakkan nilai-nilai agama dan ber-amr bi al-ma‟rūf wa nahy „an munkar, serta tidak berbohong kepada Rasulullah saw. Imam al-Nawaw  mengatakan bahwa pendapat jumhur ulama atas tetapnya keadilan sahabat bersifat mutlak, tidak diperbolehkan seseorang memberikan kritikan kepada para sahabat, karena keadilan mereka sudah ditetapkan dengan nas AlQur‟an. Imam Al-Gazali mengamini pendapat ini dengan mengatakan bahwa keadilan para sahabat ditegaskan oleh Allah swt sendiri dalam firman-Nya. Oleh karena itu tidak diperlukan lahi ta’dil maupun Jar  atas mereka, mengingat ta’dil dari Allah merupakan ta’dil  yang paling valid karena Allah adalah  at Yang Maha Mengetahui. Pendapat ini diperkuat pula oleh Ibn  salah bahwasanya keadilan sahabat sudah berdasarkan AlQur‟an, sunnah, dan ijmak.

Sedangkan tabi‟in yang merupakan pengikut dari sahabat. Para ulama juga memberikan komentar tentang tabi‟in di antaranya pendapat dari Ibn al-Qayyim alJawzy: sesungguhnya fatwa dari asar al-salaf al- ālih dan fatwa para sahabat lebih utama untuk diambil dari pada pendapat dan fatwa mutaakhkhirin. Karena dekatnya fatwa sangat terkait dengan kedekatan pelakunya dengan masa Rasulullah saw. maka fatwa-fatwa sahabat lebih didahulukan untuk diambil dari fatwa-fatwa tabi‟in dan menambahkan, “Seutama-utamanya ilmu dalam tafsir Al-Qur‟an, makna hadis, pembahasan halal dan haram adalah yang ma‟ ūr dari para sahabat, tabi‟in, dan tābi‟i altābi‟ n hingga kepada para imam Islam yang terkenal dan diikuti fatwa-fatwanya” 

C. Dalil Keadilan Sahabat Nabi dan Tabi’in

Allah telah memberikan ta‟d l tersendiri kepada para sahabat Nabi di antara firman-Nya adalah:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” Al-Fath[48]: 29

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” Al-Tawbah [9]: 100.

 Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu... Al-Baqarah [2]: 143.

Ta‟dil juga datang dari hadis Nabi Muhammad saw.

 Diriwatkan dari Abi Burdah dari ayahnya berkata kami salat maghrib bersama Rasulullah saw kemudian kami berkata seandainya kita duduk sampai kita salat isyak bersama beliau selanjutnya dia berkata maka kita duduk kemudian beliau saw. datang dan bersabda, “Kalian masih di sini” dan kita berkata wahai Rasulullah kami salat magrib bersamamu hingga kami berkata kita duduk sampai kita salat isyak. Beliau berkata, “Bagus” kemudian mengadahkan kepala beliau ke langit karena beliau sering begitu (saat berdoa) dan bersabda, “Bintang-bintang ini merupakan amanah (penjaga, tanda keamana,) bagi langit, apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah (penjaga, tanda keamanan) para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka akan tertimpa apa yang sudah dijanjikan. Dan sahabatku adalah amanah umatku, apabila sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang dijanjikan kepada mereka. HR Muslim 4596

Hadis Abu Sa‟ id al-Khudr  ra berkata, Nabi saw. bersabda janganlah kalian mencaci para sahabatku. Seandainya seorang di antara kalian menginfakkan emas seberat gunung Uhud, maka belum bisa menyamai satu mud atau separuhnya yang diinfakkan oleh seorang di antara mereka. (Lu‟lu‟ wa al-Marjan)

P3 Hadis Dhaif. | Ilmu Hadis XI Agama Sem. 1

        

BAB II

HADIS DA’IF

    PETA KONSEP

          A. Pengertian Hadis Ḍa’īf

               Secara bahasa,  Da'īf  berarti lemah. Sedangkan definisi menurut istilah adalah

 

“Hadis yang tidak memenuhi ketentuan dari hadis ḥasan, karena tidak memenuhi satu syarat dari syarat-syaratnya hadis ḥasan.

        Dengan tidak memenuhi ketententuan syarat dari hadis ḥasan, berarti juga tidak memenuhi ketentuan syarat hadis ṣaḥīḥ, karena syarat hadis ṣaḥīḥ lebih ketat.

              Contoh hadis  a‟īf:

“Rasulullah  Saw. berwudhu dengan mengusap dua kaos kaki dan kedua sandal”

         Hadis ini  a‟īf karena hanya diriwayatkan dari jalur Abi Qais al-Audiy. Sedangkan Abi Qais al-Audiy merupakan perawi yang  a‟īf.

            B. Sebab-sebab Hadis Ḍa’īf

1.      Sanadnya tidak bersambung, karena ada beberapa periwayat yang tidak saling bertemu (gugur) dengan pemberi informasi (guru).

2.      Adanya cacat pada periwayat baik pada aspek sifat adil atau kekuatan menjaga hadis dengan hafalan atau tulisan.

3.      Bertentangan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh rijāl al- ḥadīṡ yang lebih ṡiqah.

4.      Terdapat cacat yang samar yang dapat merusak ke ṣaḥīḥan ḥadīṡ. Seperti; katakatanya tidak mungkin diucapkan oleh Nabi Saw.

C. Macam-macam Hadis Ḍa’īf

         Macam-macamnya hadis  a‟īf banyak sekali. Satu ulama membagi hadis  a‟īf menjadi 81. Ada yang mengatakan 49 dan ada juga yang mengatakan 42. Dari banyaknya pembagian ini, tidak semua memiliki nama. Maka dari itu, perlu untuk dikasifikasikan lebih lanjut.

         Untuk mempermudah pembagiannya, ulama mengklasifikasikan hadis  a‟īf berdasarkan sebab ke a‟īfannya, yaitu; yang disebabkan putusnya sanad dan yang disebabkan faktor lain.

1.   Hadis ḍa’īf sebab putusnya sanad

a.      Al-Mursal

        Hadis al-mursal adalah hadis yang disampaikan oleh tabi`in baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang disandarkan pada Rasulullah Saw. tanpa menyebutkan sahabat yang meriwayatkan kepadanya.

Pendapat ulama tentang kehujjahan hadis mursalnya tabi‟in:

1)      Pendapat pertama: diperbolehkan membuat hujah dengan semua hadis mursal. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad menurut satu keterangan.

2)      Pendapat kedua: tidak diperbolehkan membuat hujjah dengan hadis mursal secara mutlak. Ini merupakan merupakan pendapat Imam Nawawi dari mayoritas ahli hadis dan Imam Syaf'i‟i.

3)      Pendapat ketiga: diperbolehkan membuat hujjah dengan hadis mursal, dengan syarat hadis memiliki penguat. Penguat tersebut bisa berupa hadis yang sanadnya sambung, hadis mursal yang diriwayatkan dari jalur lain. Hadis tersebut juga bisa dikuatkan dengan adanya sebagian sahabat atau banyak ulama yang mengamalkannya.

Contoh 

Rasulullah  Saw. bersabda: “Sesungguhnya penyakit demam (panas) berasal dari panasnya neraka jahanam.

              Hadis ini termasuk hadis mursal, karena „Atha` yang merupakan tabi‟in langsung menyandarkan hadis pada Rasulullah Saw. tanpa menyebutkan sahabat yang meriwayatkan padanya.

b.      Al-Munqathi'

        Hadis al-munqathi' adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak disebutkan atau tidak jelas identitasnya. 

        Contoh yang hadis yang salah satu rawinya tidak disebutkan adalah hadis:

Rasulullah  Saw. bersabda: “Apabila kalian menjadikan Abu bakar sebagai pemimpin maka dia adalah orang yang kuat dan terpercaya”

        Dalam sanad hadis di atas, ada rawi yang tidak disebutkan dalam dua tempat, yaitu 'Abdurrazaq tidak mendengar dari ats-Tsauri, akan tetapi mendengar dari an-Nu'man bin Abi Syaibah yang mendengar dari as-Tsauri, dan as-Tsauri tidak mendengar dari Abi Ishaq tetapi dari mitranya Abi Ishaq.   َ

c.       Al-Mu'dal

        Adalah hadis yang menggugurkan dua rawi atau lebih secara berurutan. Contohnya tabi‟in-tabi‟in langsung menyandarkan hadis pada Rasulullah Saw. Termasuk hadis mu' al adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama fikih dengan langsung mengatakan

Rasulullah  Saw. bersabda demikian........

d.      Al-Mudallas

        Arti tadlis adalah menyembunyikan aib. Tadlis terbagi menjadi dua, yaitu tadlis pada sanad dan tadlis pada guru. Tadlis pada sanad adalah rawi memberi pemahaman kalau dia mendengar langsung dan meriwayatkan dari orang yang hidup sezaman, padahal dia belum pernah berjumpa, atau pernah berjumpa akan tetapi tidak mendengar langsung darinya. Contohnya meriwayatkan dengan kata “saya mendengarnya  (سَمِعْتُ)padahal dia tidak pernah mendengar langsung.

        Tadlis Syuyukh yaitu rawi menamakan gurunya dengan nama julukan yang tidak dikenal. Contoh ungkapan Abi Dawud Al-Muqri', “saya mendengar dari Abdullah bin Abi Abdullah” dengan menghendaki Abdullah bin Abu Dawud as Sajastani. Abi Dawud  tidak dikenal dengan sebutan Abi Abdullah.

e.       Al-Mu‟allaq

        Mu‟allaq secara bahasa adalah isim maf‟ul yang berarti terikat dan tergantung. Sanad yang seperti ini disebut mu‟allaq karena hanya terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus, sehingga menjadi seperti sesuatu yang tergantung pada atap dan yang semacamnya.

        Hadis mu‟allaq menurut istilah adalah hadis yang gugur perawinya, baik seorang, baik dua orang, baik semuanya pada awal sanad secara berturutan. Diantara bentuknya adalah bila semua sanad digugurkan dan dihapus, kemudian dikatakan : “Rasulullah Saw. bersabda begini....”. Atau dengan menggugurkan semua sanad kecuali seorang shahabat, atau seorang shahabat dan tabi‟in. 

        Hadis mu‟allaq adalah hadis mardud (ditolak) karena gugur dan hilangnya salah satu syarat diterimanya suatu hadis, yaitu bersambungnya sanad, dengan cara menggugurkan seorang atau lebih dari sanadnya tanpa dapat diketahui keadaannya.

P2. Hadis Shoheh dan Hasan | ILMU HADIS XI Agama Sem 1

  

BAB I

HADIS SHAHIH DAN HASAN



Mari Merenung

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Dalam menggunakan hadis sebagai sumber ajaran atau sumber hukum, hendaknya memperhatikan kesahihan hadis tersebut, apalagi dalam menetapkan masalah keimanan atau akidah, hukum halal atau haram, mutlak menggunakan hadis-hadis sahih atau minimal hadis ḥasan.

Dalam bab ini disajikan klasifikasi hadis yang bisa dijadikan hujjah, yaitu hadis ṣaḥīḥ liżātihi, ṣaḥīḥ ligairihi, ḥasan liżātihi dan ḥasan ligairihi. Selain itu, dalam bab ini juga disajikan hal-hal yang berhubungan dengan hadis ṣaḥīḥ dan ḥasan seperti kriterianya, penulis yang pertama kali, kitab-kitab hadis yang ṣaḥīḥ, dan lain-lain.

Mari Mengingatkan

Pada masa tabi‟in semakin banyak periwayatan hadis, sehingga mendorong para ulama hadis untuk melakukan penelitian terhadap kualitas hadis.  Para ulama sepakat, bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mempunyai kadar ṣaḥīḥ atau kebenaran yang tinggi. Hal itu dikarenakan kedua imam tersebut telah melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya. 

Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Imam Muslim sudah diakui oleh para ulama akan kebenarannya. Apalagi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang juga diriwatkan oleh Imam Muslim, tentu tingkat kebenarannya lebih tinggi. Sehingga para ulama sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh kedua imam itu benar-benar berasal dari perkataan atau perbuatan Nabi Saw.

Mari Memahami

A.    Hadis ṣaḥīḥ

1. Pengertian hadis ṣaḥīḥ

Kata ṣaḥīḥ secara bahasa diartikan sehat, merupakan lawan dari saqim (sakit atau lemah). Yang dimaksud hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang sehat dan benar tanpa adanya penyakit dan cacat.

Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Hadis ṣaḥīḥ, namun secara umum pendapat mereka tidak memiliki perbedaan yang siginifikan. Di antara pendapat para ulama tentang definisi hadis ṣaḥīḥ adalah sebagai berikut:

“Hadis yang sanadnya bersambung (tanpa putus), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan sempurna ingatannya dari periwayat yang memiliki kualitas sepadan, tidak syaż dan tidak ada „illat yang dapat mencederainya.”Imam Nawawi dalam kitab Tadrib Ar-Rowy mendefinisikan lebih ringkas, yaitu:

“Hadis yang sanadnya bersambung melalui orang-orang yang adil dan sempurna ingatannya, tidak syaż dan tidak ada „ilat.” 

Contoh hadis sahih adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Artinya: “Rasulullah Saw. bersabda: makanan dua orang cukup untuk tiga orang dan makan tiga orang cukup untuk empat orang.”

Hadis tersebut merupakan hadis ṣaḥīḥ karena semua sanadnya muttaṣil dan semua rawinya ṡiqah.

2.      Syarat-Syarat Hadis Ṣaḥīḥ

Berdasarkan definisi hadis ṣaḥīḥ di atas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ adalah sebagai berikut:

a.       Sanadnya Muttaṣil

Maksudnya adalah semua periwayat isi hadis tersebut benar-benar mengambil hadis secara langsung dari periwayat sebelumnnya, kemudian periwayat sebelumnnya dari periwayat sebelumnya lagi hingga akhir sanad.

Untuk memastikan sebuah hadis diterima langsung oleh periwayat dari gurunya, Imam Muslim mensyaratkan keduanya harus hidup satu generasi dan memungkinkan saling bertemu. Sedangkan Imam Bukhari mensyaratkan keduanya harus benar-benar pernah bertemu. Oleh karenanya, kitab Shahih Bukhari dianggap lebih utama karena syaratnya lebih ketat.

b.      Periwayatnya „Adil

Adil adalah sebuah watak yang menjadikan seseorang selalu bertakwa dan menjaga harga diri. Orang adil adalah seorang muslim, berakal sehat, tidak fāsiq dan tidak jelek prilakunya (menjaga murūah). 

Dalam menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah satu metode berikut:

1)      Keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta‟dīl bahwa periwayat itu bersifat adil.

2)      Khusus mengenai periwayat hadis pada tingkat sahabat, mayoritas ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil.

c.       Periwayatnya Ḍābiṭ

Maksudnya masing-masing periwayatnya memiliki daya ingat sempurna ketika menerima hadis, kemudian menjaga isi hadis tersebut baik melalui hafalannya (dābiṭ shadran) atau tulisannya ( ābiṭ kitaban). Artinya, kapan pun hadis tersebut dibutuhkan, dia dapat menunjukkan dengan cepat, baik melalui hafalan atau tulisannya, dengan tanpa adanya perubahan dari saat menerima hadis pertama kali. Adapun sifat-sifat ke ābiṭan periwayat, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:

1)      Kesaksian para ulama.

2)      Berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat orang lain yang telah dikenal ke ābiṭannya.

d.      Tidak Syaż

Maksudnya ialah isi hadis (matan hadis) itu benar-benar tidak syaż. Dalam arti tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih ṡiqah.

e.       Tidak terdapat ‟illat

Maksudnya tidak ada sebab yang samar yang dapat menurunkan derajat keṣaḥīḥ-an hadis. „Illat hadis dapat terjadi pada sanad, matan, atau keduanya sekaligus. Namun demikian, „illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttaṣil terhadap hadis yang munqati‟ atau mursal.

3.      Kedudukan Hadis Ṣaḥīḥ

Hadis ṣaḥīḥ sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadis ḥasan. Karena itu apabila hadis ṣaḥīḥ bertentangan dengan hadis ḥasan, maka didahulikan hadis ṣaḥīḥ. Semua ulama sepakat menerima hadis ṣaḥīḥ sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah yang dapat digunakan untuk menentukan masalah akidah, hukum dan akhlak. Hukum-hukum yang berdasarkan hadis ṣaḥīḥ harus diamalkan.

Tidak semua hadis ṣaḥīḥ dapat diriwatkan secara umum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas‟ud Ra. “Tidaklah kamu menyampaikan sebuah hadis pada kaum yang akal mereka tidak mampu memahaminy