Selasa, 12 September 2023

P2. Hadis Shoheh dan Hasan | ILMU HADIS XI Agama Sem 1

  

BAB I

HADIS SHAHIH DAN HASAN



Mari Merenung

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Dalam menggunakan hadis sebagai sumber ajaran atau sumber hukum, hendaknya memperhatikan kesahihan hadis tersebut, apalagi dalam menetapkan masalah keimanan atau akidah, hukum halal atau haram, mutlak menggunakan hadis-hadis sahih atau minimal hadis ḥasan.

Dalam bab ini disajikan klasifikasi hadis yang bisa dijadikan hujjah, yaitu hadis ṣaḥīḥ liżātihi, ṣaḥīḥ ligairihi, ḥasan liżātihi dan ḥasan ligairihi. Selain itu, dalam bab ini juga disajikan hal-hal yang berhubungan dengan hadis ṣaḥīḥ dan ḥasan seperti kriterianya, penulis yang pertama kali, kitab-kitab hadis yang ṣaḥīḥ, dan lain-lain.

Mari Mengingatkan

Pada masa tabi‟in semakin banyak periwayatan hadis, sehingga mendorong para ulama hadis untuk melakukan penelitian terhadap kualitas hadis.  Para ulama sepakat, bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mempunyai kadar ṣaḥīḥ atau kebenaran yang tinggi. Hal itu dikarenakan kedua imam tersebut telah melakukan penyaringan yang sangat ketat terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya. 

Hadis yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Imam Muslim sudah diakui oleh para ulama akan kebenarannya. Apalagi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang juga diriwatkan oleh Imam Muslim, tentu tingkat kebenarannya lebih tinggi. Sehingga para ulama sepakat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh kedua imam itu benar-benar berasal dari perkataan atau perbuatan Nabi Saw.

Mari Memahami

A.    Hadis ṣaḥīḥ

1. Pengertian hadis ṣaḥīḥ

Kata ṣaḥīḥ secara bahasa diartikan sehat, merupakan lawan dari saqim (sakit atau lemah). Yang dimaksud hadis ṣaḥīḥ adalah hadis yang sehat dan benar tanpa adanya penyakit dan cacat.

Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Hadis ṣaḥīḥ, namun secara umum pendapat mereka tidak memiliki perbedaan yang siginifikan. Di antara pendapat para ulama tentang definisi hadis ṣaḥīḥ adalah sebagai berikut:

“Hadis yang sanadnya bersambung (tanpa putus), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan sempurna ingatannya dari periwayat yang memiliki kualitas sepadan, tidak syaż dan tidak ada „illat yang dapat mencederainya.”Imam Nawawi dalam kitab Tadrib Ar-Rowy mendefinisikan lebih ringkas, yaitu:

“Hadis yang sanadnya bersambung melalui orang-orang yang adil dan sempurna ingatannya, tidak syaż dan tidak ada „ilat.” 

Contoh hadis sahih adalah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Artinya: “Rasulullah Saw. bersabda: makanan dua orang cukup untuk tiga orang dan makan tiga orang cukup untuk empat orang.”

Hadis tersebut merupakan hadis ṣaḥīḥ karena semua sanadnya muttaṣil dan semua rawinya ṡiqah.

2.      Syarat-Syarat Hadis Ṣaḥīḥ

Berdasarkan definisi hadis ṣaḥīḥ di atas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ adalah sebagai berikut:

a.       Sanadnya Muttaṣil

Maksudnya adalah semua periwayat isi hadis tersebut benar-benar mengambil hadis secara langsung dari periwayat sebelumnnya, kemudian periwayat sebelumnnya dari periwayat sebelumnya lagi hingga akhir sanad.

Untuk memastikan sebuah hadis diterima langsung oleh periwayat dari gurunya, Imam Muslim mensyaratkan keduanya harus hidup satu generasi dan memungkinkan saling bertemu. Sedangkan Imam Bukhari mensyaratkan keduanya harus benar-benar pernah bertemu. Oleh karenanya, kitab Shahih Bukhari dianggap lebih utama karena syaratnya lebih ketat.

b.      Periwayatnya „Adil

Adil adalah sebuah watak yang menjadikan seseorang selalu bertakwa dan menjaga harga diri. Orang adil adalah seorang muslim, berakal sehat, tidak fāsiq dan tidak jelek prilakunya (menjaga murūah). 

Dalam menilai keadilan seorang periwayat, cukup dilakukan dengan salah satu metode berikut:

1)      Keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta‟dīl bahwa periwayat itu bersifat adil.

2)      Khusus mengenai periwayat hadis pada tingkat sahabat, mayoritas ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil.

c.       Periwayatnya Ḍābiṭ

Maksudnya masing-masing periwayatnya memiliki daya ingat sempurna ketika menerima hadis, kemudian menjaga isi hadis tersebut baik melalui hafalannya (dābiṭ shadran) atau tulisannya ( ābiṭ kitaban). Artinya, kapan pun hadis tersebut dibutuhkan, dia dapat menunjukkan dengan cepat, baik melalui hafalan atau tulisannya, dengan tanpa adanya perubahan dari saat menerima hadis pertama kali. Adapun sifat-sifat ke ābiṭan periwayat, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:

1)      Kesaksian para ulama.

2)      Berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat orang lain yang telah dikenal ke ābiṭannya.

d.      Tidak Syaż

Maksudnya ialah isi hadis (matan hadis) itu benar-benar tidak syaż. Dalam arti tidak bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih ṡiqah.

e.       Tidak terdapat ‟illat

Maksudnya tidak ada sebab yang samar yang dapat menurunkan derajat keṣaḥīḥ-an hadis. „Illat hadis dapat terjadi pada sanad, matan, atau keduanya sekaligus. Namun demikian, „illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttaṣil terhadap hadis yang munqati‟ atau mursal.

3.      Kedudukan Hadis Ṣaḥīḥ

Hadis ṣaḥīḥ sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi kedudukannya dari hadis ḥasan. Karena itu apabila hadis ṣaḥīḥ bertentangan dengan hadis ḥasan, maka didahulikan hadis ṣaḥīḥ. Semua ulama sepakat menerima hadis ṣaḥīḥ sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah yang dapat digunakan untuk menentukan masalah akidah, hukum dan akhlak. Hukum-hukum yang berdasarkan hadis ṣaḥīḥ harus diamalkan.

Tidak semua hadis ṣaḥīḥ dapat diriwatkan secara umum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas‟ud Ra. “Tidaklah kamu menyampaikan sebuah hadis pada kaum yang akal mereka tidak mampu memahaminy

0 comments:

Posting Komentar